Sumpek! Itulah mungkin perasaan warga Jakarta seperti saya sekarang ini yang merasakan kehidupan kota yang tak lepas dari hiruk-hiruk dan permasalahan klasiknya, seperti Kemacetan luar biasa, Banjir, dan banyaknya Pengangguran. Setiap tahun bukan semakin teratasi malahan akan semakin parah.
Kemacetan merupakan masalah yang mendera hamper diseluruh kota besar dunia. Akan tetapi, seperti di New York, London, atau bahkan Kuala Lumpur, masyarakat diberikan pilihan angkutan umum yang nyaman dan tepat waktu, sehingga disana ada alternative pilihan.
Sedangkan Jakarta, semua opsi transportasi tak ada yang bebas masalah. Naik mobil pribadi terkena macet berjam-jam, naik bis kota, panas dan berjejalan apalagi kalau macet, naik kereta api pun setali tiga uang. Bahkan Busway yang diharapkan menjadi solusi cenderung membuat masalah tersendiri karena terkesan dipaksakan.
Perlu dipikirkan jalan keluar yang revolusioner untuk mengatasi macet yang telah masuk stadium 4 ini. Penambahan ruas jalan, pembatasan penggunaan mobil pribadi dan menciptakan system transportasi missal yang murah, nyaman dan tepat waktu, menjadi suatu keharusan.
Selain kemacetan, masalah yang mendesak dan harus segera diselesaikan adalah banjir dan pengangguran. Masih teringat dalam pikiran kita kejadian banjir besar pada saat tahun yang lalu, yang menenggelamkan tiga perempat Jakarta. Jangan pernah kita dininabobokan dengan argumentasi itu adalah peristiwa lima tahunan, yang seolah-olah 10 tahun kedepan rumah anda, yang sebelumnya tidak pernah kebanjiran tiba-tiba tenggelam, itu adalah hal yang lumrah, peristiwa alam biasa.
Namun sebenarnya tidak, seharusnya jika memang secara lima tahunnan terjadi curah hujan yang lebih besar, antisipasi harus segera dilakukan. Namun, yang terjadi adalah ketika banjir telah berlalu, kita seperti orang pikun. Pemerintah mulai pembangunan yang seenak udelnya sendiri, masyarakat pun mulai membuang sampah ke sungai lagi. Pembangunan banjir kanal timur, reklamasi kawasan hulu meliputi kawasan Puncak dan Bogor, serta penegakkan hukum di ranah tata ruang kota serta pengendalian kebersihan mutlak dilakukan.
Pengangguran juga menjadi hantu yang selalu membayangi bagi Jakarta. Tingkat pengangguran yang tinggi membuat tingkat ancaman kejahatandan permasalahan social semakin besar. Daya tarik Jakarta sebagai sebuah Centrum perputaran modal terbesar negeri ini, masing kurang mampu dalam menghadapi lonjakan angkatan kerja, baik dari penduduk asli maupun pendatang, karena pendekatannya yang tidak padat karya.
Masalah social tersebut kemudian diperparah dengan sulitnya ruang usaha informal bagi masyarakat ekonomi lemah. Pedagang kaki lima kerap digusur tanpa alternative lain, pungli-pungli yang tinggi bagi tukang ojek, adalah sebuah contoh sederhana lainnya. Untuk itu diperlukan suatu terobosan pemikiran untuk lebih mengkaryakan sector informal tersebut. Semoga Jakarta menjadi kota yang tidak sekedar kota yang tua, lebih dari itu, melainkan menjadi kota yang Dewasa.
Posting Komentar